TINJAUAN BUKU: Dr. Marcella Santoso, S.H., M.Kn., LEGALITAS DAN LEGITIMASI SURAT KETERANGAN TANAH:

Print Friendly and PDF

Mengusahakan Perlindungan Hukum yang Realistis terhadap Penguasaan Tanah secara Sah di Indonesia. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2024, 

310 halaman + xiv halaman.

Jakarta;

Buku ini berasal dari disertasi yang telah dipertahankan oleh penulisnya guna memperoleh gelar doktor (S-3) ilmu hukum di Universitas Indonesia pada tahun 2022. Tampaknya, buku ini menjadi semacam refleksi teoritis penulisnya terhadap fakta-fakta yang ditemukannya dalam menjalankan profesi advokat, khususnya dalam menangani berbagai perkara pertanahan di berbagai pengadilan di Indonesia. 


Pusat perhatian penulis dalam buku ini adalah kedudukan dan fungsi Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan oleh kepala desa dalam konteks hukum pertanahan di Indonesia. Berdasarkan analisis terhadap puluhan putusan pengadilan, ---baik di bidang hukum perdata, di bidang hukum tata usaha negara dan di bidang hukum pidana---, penulis tiba pada kesimpulan bahwa Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan oleh kepala desa sering mengalahkan kedudukan sertifikat hak milik yang diterbitkan oleh kantor pertanahan. 


Kesimpulan tersebut tentu saja perlu dipahami secara lebih berhati-hati. Temuan-temuan penulis tersebut perlu dipahami dalam konteks regim hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia sejak keberlakuan UU No. 05 / 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau sering disebut juga sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), terutama dalam hal ini KONSEP KEPEMILIKAN TANAH dan SISTEM PENDAFTARAN TANAH. 

Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan oleh kepala desa sama sekali TIDAK BERFUNGSI SEBAGAI BUKTI KEPEMILIKAN TANAH. Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan oleh kepala desa adalah salah satu BUKTI PENGUASAAN FISIK TANAH yang merupakan salah satu syarat yang diperlukan dalam pendaftaran tanah di kantor pertanahan. 


Mengapa Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan oleh kepala desa terkesan menjadi begitu penting dalam hukum pertanahan Indonesia? 


Hal itu disebabkan adanya larangan pemilikan tanah secara absentee dalam UUPA. Artinya, UUPA pada prinsipnya menghendaki agar setiap pemegang hak atas tanah mengusahakan/mengelola sendiri tanah yang menjadi obyek haknya. Keberadaan larangan absentee dalam UUPA tampaknya perlu kita pahami dalam konteks arus sosial politik yang berlaku di negeri ini pada tahun 1960an ketika UUPA dibentuk. Kita tahu bahwa gagasan sosialisme sangat kuat mewarnai arus ekonomi politik Indonesia ketika itu. Maka, tidak mengherankan jika berbagai norma hukum dalam UUPA memang sangat bercorak sosialis, baik dalam hal corak, arah maupun tujuan pemberlakuannya.


Larangan kepemilikan tanah secara absentee adalah norma hukum yang ditujukan untuk mencegah berkembang biaknya tuan tanah di bumi Nusantara yang menguasai berhektar-hektar tanah tanpa harus sungguh-sungguh mengerjakan/mengelolalanya. Dan Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan oleh kepala desa adalah salah satu instrumen yang dimaksudkan untuk mencegah kepemilikan tanah secara absentee. Karena, Surat Keterangan Tanah menerangkan penguasaan riel atas bidang tanah tertentu dengan batas-batas yang jelas oleh orang tertentu yang DIKUATKAN OLEH SAKSI-SAKSI YANG CUKUP, di mana penguasaan itu berlangsung SECARA TERBUKA dan didasarkan pada ITIKAD BAIK.


Bahwa kekuatan arus sosialisme itu kini telah tergeserkan oleh kekuatan arus kapitalisme bahkan kapitalisme yang bercorak neoliberal tentu, ---in concreto---, akan menimbulkan sejumlah problematika hukum, terlebih apabila keberlakuan suatu norma dipahami teramat positivis terlepas dari konteks sosial ekonomi politiknya. 


Berdasarkan pada larangan penguasaan tanah secara absentee, praktek peradilan di negeri ini kemudian telah menimbulkan suatu asas yang dikenal sebagai RECHTSVERWERKING. Artinya, seseorang dianggap telah melepaskan haknya apabila dalam jangka waktu tertentu seseorang yang memiliki hak atas sebidang tanah tidak melakukan sesuatu perbuatan di atas tanah tersebut yang memperlihatkan bahwa yang bersangkutan adalah pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Dan, asas rechtsverwerking ini yang mendasari sebagian dari putusan pengadilan yang dimaksudkan oleh penulis buku ini.


Sungguhkah Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan oleh kepala desa dapat mengalahkan sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan oleh kantor pertanahan? Tentu saja tidak! 


Putusan pengadilan yang membatalkan sertifikat atas tanah yang diterbitkan oleh kantor pertanahan haruslah dipahami dalam konteks SISTEM PENDAFTARAN TANAH yang berlaku di Indonesia. 


Sistem pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia bukanlah SISTEM PENDAFTARAN TANAH YANG BERSIFAT POSITIF sebagaimana dianut oleh Singapura, misalnya. Dalam sistem pendaftaran tanah yang bersifat positif, negara SEPENUHNYA menjamin kebenaran data yang tercantum dalam suatu sertifikat hak atas tanah, baik data fisik maupun data yuridisnya. Apabila di kemudian hari ada yang merasa dirugikan oleh sertifikat tersebut, sertifikat itu tidak dapat dibatalkan. Yang merasa dirugikan itu cukup diberi ganti kerugian apabila memang yang bersangkutan dapat membuktikan hak dan kerugiannya menurut mekanisme yang berlaku.


Dalam PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah dengan jelas dinyatakan bahwa sistem pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia  adalah SISTEM PENDAFTARAN TANAH YANG BERSIFAT NEGATIF NAMUN MENGANDUNG UNSUR-UNSUR POSITIF. Artinya, kebenaran data-data yang tercantum dalam sertifikat hal atas tanah, ---baik data fisik maupun data yuridis--, hanya dijamin oleh negara SAMPAI DENGAN ADA YANG MAMPU MEMBUKTIKAN SEBALIKNYA. 


Nah, pembatalan sertifikat hak atas tanah oleh pengadilan yang dimaksudkan oleh penulis buku ini didasarkan pada prinsip pendaftaran tanah yang demikian. Artinya, ada pihak yang mampu membuktikan bahwa sertifikat yang dibatalkan itu mengandung cacat hukum, bisa dalam hal data yang terkandung di dalamnya, bisa juga dalam hal proses penerbitannya. Jadi, BUKANNYA SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH yang diterbitkan oleh kantor pertanahan DIKALAHKAN OLEH SURAT KETERANGAN TANAH yang diterbitkan oleh kepala desa. Dan dalam pembatalan suatu sertifikat atas tanah oleh pengadilan tentu saja tidak hanya didasarkan pada Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan oleh kepala desa. Asas hukum pembuktian yang berbunyi unum testis nullum testis (satu saksi/bukti bukan saksi/bukti) menghendaki adanya bukti lain selain dari Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan oleh kepala desa guna membuktikan ketidakbenaran suatu sertifikat hak atas tanah. 


Bagaimana pun buku ini layak dibaca dan perlu guna memahami problematika hukum pertanahan in concreto,- 

Oleh: Horas Naiborhu


Tag : Fropile
0 Komentar untuk "TINJAUAN BUKU: Dr. Marcella Santoso, S.H., M.Kn., LEGALITAS DAN LEGITIMASI SURAT KETERANGAN TANAH:"

Back To Top